Rabu, 05 September 2012


Tradisi Kelakar Betok Masyarakat Palembang

Pada sebuah warung sayuran, perempuan Palembang berbelanja. Dia menyebutkan apa yang hendak dia beli dalam jumlah serba sedikit. Kangkung hanya seikat, minyak sayur hanya satu sloki, dan 3 ikan asin kecil.
Ketika ditanya kenapa belanja kangkung cuma sekebat, sang perempuan menyimbat, “Ai, kangkung nih bukan untuk disayur. Biasolah, Mang Cik kau baru miaro kelinci.Nak makan kangkung nian. Dak galak makan rumput biaso.”
Mengenai ikan asin kecil yang juga hanya sedikit, hanyalah untuk memberi pakan kucing. Tentang minyak sayur yang hanya setakar kecil, “Mang Cik kau masuk angin! Minta kerik!”
Betok (Anabas testudineus), image colongan dari blog orang
Anekdot di atas hanya salah satu anekdot popular di Palembang. Tradisi berkelakar demikian kental di aliran Musi. Dimana-mana gampang ditemui orang berkelakar.
Masyarakat Palembang yang saya kenal adalah masyarakat pengelakar. Di sana pertama kali saya dengar istilah “pakar”. Pacak BekelakarPacak artinya bisa. Atau, utak-atik saja dari pacak menjadi cakap. Dari cakap yang artinya pandai ke cakap yang artinya bual. Bukan bual dalam arti sekarang yang dipakai untuk sebut “omong besar”. Omong besar bukan bual. Itu, ngawak!
Kelakar adalah seni. Salah satunya fungsinya, ikhtiar menertawai diri sendiri. Anekdot di atas adalah cerminan masyarakat Palembang menertawakan fenomena langguk yang tumbuh sebagai stereotip sebagian masyarakatnya.
Kelakar adalah seni guyon yang tumbuh macam jamur di musim hujan. Ia mirip tak kenal kelas. Tumbuh dan hidup pada segala strata. Tumbuh di rumah-rumah rakit, sampai sisa-sisa kejayaan rumah limas. Kelakar bahkan tumbuh di rawa-rawa Palembang yang dahulunya memenuhi 2/3 Palembang.
Seni kelakar tingkat tertinggi dijuluki “kelakar betok”. Betok (Anabas testudineus) adalah sejenis ikan perairan tawar, paling gampang tertemui di rawa. Sisiknya gelap keemasan-kehijauan, dagingnya padat, siripnya acap lebih mirip duri yang bisa melukai meski tak berbisa. Ikan ini bisa memanjat ke daratan untuk berpindah dari satu cekungan ke cekungan rawa lainnya. Karenanya, dalam bahasa Inggris betok didapuk dengan nama climbing gouramy.
Kelakar betok… isinya bisa dianggap bual angin. Lambas-melambas dari satu wacana ke wacana lain, dari satu tema ke tema lain. Pengelakar betok mirip tertuntut tahu banyak tentang apa saja. Ngulu-ngilir, ngalor-ngidul. Melintas sana-sini. Menyebrang sisi-sisi.
Kenapa tradisi ini muncul? Tanya pengelana yang kebetulan tandang menikmati lantun riak air Musi. Saya tak punya referensi apapun selain kecurigaan. Kecurigaan pertama, lahir sebagai otokritik terhadap fenomena sosial yang tumbuh di Palembang. Kecurigaan kedua, lahir sebagai cara untuk melenturkan penat pikiran di kehidupan keras masyarakat Palembang.
Supaya mudah, saya kira tradisi ini memiliki ruh yang sama dengan seni bergurai di ranah lain. Misal, seni gurau masyarakat Betawi seperti yang tertampil dalam Lenong, tradisi ngabodor di Sunda, gurau ndobos di masyarakat Yogyakarta, atau seni parikan yang sering nyelip dalam pementasan ludruk Jawa Timur-an.
Apa pun, semoga tradisi kelakar betok tetap lestari meski habitat betok, rawa, terancam penimbunan. Penimbunan yang telah mematikan sekitar 100-an kanal (sungai) pada Palembang yang berjuluk Venesia dari Timur ini. Penimbunan yang dinamai proyek reklamasi. Padahal cuma kelakar betok untuk menyamarkan semangat aslinya, de-rewa-isasi.###
[SyamAR; Cijapun, 28 Februari 2010]
#Image dicomot dari Zona Ikan… mungkin pula si sumber nyomot dari tempat lain :) 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar